Harapan Kepemimpinan Prabowo, Terwujudnya Pemerintahan Baik dan Bersih

Penggunaan Analogi IKAN BUSUK berawal dari kepalanya kembali ditegaskan Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pengarahan terkait “antikorupsi”

Penggunaan Analogi IKAN BUSUK berawal dari kepalanya kembali ditegaskan Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan pengarahan terkait “antikorupsi” di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah

Bahkan, Prabowo tak segan meminta para jajarannya untuk mundur apabila tidak memiliki visi dan misi antikorupsi yang sama.

Penekanan Prabowo menyangkut nilai antikorupsi yang diulang dalam berbagai kesempatan itu, secara simbolik hendak memberikan pesan moral penting. Kedalam, khususnya kepada para penyelenggara negara dalam posisinya sebagai abdi rakyat, agar tidak menyalahgunakan jabatan (abuse of power) yang telah diamanahkan.

Untuk menjaga wibawa pemerintah dan kepercayaan publik, kuncinya adalah memegang teguh integritas. Sementara keluar, terutama kepada publik, penekanan sikap antikorupsi ini sebagai bentuk “komitmen politik” Prabowo dalam menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).

Sebagai seorang Presiden yang lahir dari garis keturunan dengan menyandang nama besar, Prabowo seolah ingin menjaga martabat dan kehormatan keluarga besarnya. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, adalah seorang ekonom dan Direktur Bank Indonesia pertama.

Sementara ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, adalah seorang intelektual, ekonom, sekaligus politisi yang dikenal integritas dan rekam jejak prestasinya. Boleh jadi, penekanan soal antikorupsi yang ditegaskan berulang itu, adalah bentuk kesungguhan Prabowo untuk melanjutkan legasi yang telah diwariskan oleh kakek dan ayahnya.

Untuk memastikan pemerintahan yang dipimpin berhasil, Ia tak segan mewanti-wanti jajaran kabinetnya untuk menjaga integritas dan mengedepankan prestasi.

Bagi Prabowo, integritas dan kapabilitas adalah syarat mutlak untuk membangun kejayaan Indonesia kedepan. Ibarat dua sisi mata uang, antara kapabilitas dan integritas itu saling melekat, tak bisa dipisahkan. Karena itu, apabila kelak ada jajaran Kabinet Merah Putih yang performanya tak sanggup memenuhi kedua kriteria itu, sebaiknya mundur saja.

Narasi antikorupsi yang digaungkan Prabowo dalam posisinya sebagai Presiden, terasa menjadi “oase” di tengah wajah politik kekuasaan kita yang dijejali praktik lancung.

Realitas memilukan ini, oleh mendiang Buya Syafii Maarif, disebabkan karena penyelenggara negara di semua cabang kekuasaan dibiarkan berkubang dengan cacat mental dan cacat kelakuan. Sudah tak terbilang jumlah penyelenggara negara yang terjerat skandal politik tercela, entah itu korupsi ataupun perilaku asusila.

Baru-baru ini, misalnya, Kejaksaan Agung menangkap Zarof Ricar, bekas pejabat Mahkamah Agung, sebagai makelar kasus untuk mengurus kasasi perkara pidana Gregorius Ronald Tanur. Saat digeledah, penyidik Kejaksaan menyita uang Rp 920 miliar dan emas batangan sebanyak 51 kg

Perilaku koruptif, merujuk tesis “Rittel dan Weber (1984)”, adalah bentuk paling nyata dari politik tercela (wicked politics). Pasalnya, perilaku lancung ini memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral bersifat buruk dan tidak etis. Akibat mentalitas koruptif ini, oleh Azyumardi Azra, terbukti menjadi sumber dari banyak masalah di lembaga publik, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan politik.